Kisruh sistem zonasi yang diterapkan 3 tahun belakangan ini rupanya masih terus berlanjut. Minimnya sosialisasi hingga ketiadaan infrastruktur sekolah, menjadi faktor dominan sistem zonasi dituding menciderai rasa keadilan oleh sebagian orang tua siswa.
Hal itu kini dirasakan oleh calon siswi bernama Fatimah Andita Putri. Lulusan SMPN 20 Bakti Jaya, Kecamatan Setu, itu sedari awal merencanakan SMA Negeri 3, Pondok Benda, Kecamatan Pamulang, sebagai sekolah tujuannya kelak.
Namun siapa sangka, Fatimah yang lulus dari tingkat SMPN dengan Nilai Ujian Nasional 36,5, rupanya gagal meneruskan studi ke sekolah negeri. Sistem zonasi yang dianggap tak transparan, telah mengubur cita-citanya mengenyam pendidikan di SMAN 3 Pondok Benda, Pamulang.
Saat ditemui di kediamannya, Jalan H Rekan, RT01 RW02, Pondok Benda, Pamulang, Tangerang Selatan (Tangsel), Senin (22/7/2019) sore. Sang ayah, Sukarta (58), bercerita panjang lebar tentang sistem zonasi yang menutup peluang putrinya masuk di SMAN 3.
Menurut Sukarta, tujuan putrinya memilih SMAN 3 disebabkan lokasi sekolah dengan rumah yang tak begitu jauh, yakni hanya sekira 2 kilometer. Itulah mengapa, saat memasuki masa Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMA-SMK, Fatimah langsung bergegas melengkapi berbagai persyaratan.
"Awalnya kita sebagai orang tua nggak khawatir mau masuk ke SMAN 3, karena Fatimah ini kan berprestasi di sekolah, dari SD sampai SMP kemarin juara 1 terus. Jadi selain dia berprestasi, tapi juga kan secara zonasi rumah kita dekat dengan SMAN 3, harusnya nggak ada masalah," tuturnya.
Namun begitu memasuki tahap-tahap akhir penerimaan, dilanjutkan dia, barulah diketahui jika pihak sekolah memberi batasan jarak untuk sistem zonasi, yakni tempat tinggal maksimal berjarak 1,8 kilometer dari SMAN 3. Sontak hal demikian membuat gusar Sukarta, istrinya, Diah Agustin (36), terlebih lagi bagi Fatimah sendiri.
"Jadi jaraknya itu dibatasi, cuma 1,8 kilometer, alasannya pendaftarnya membludak. Padahal waktu awal-awal nggak ada batasan begitu," imbuh Sukarta.
Dilanjutkan Sukarta, meski kecewa dengan pembatasan itu dia terus berupaya agar Fatimah bisa melanjutkan ke sekolah negeri. Cara terakhir adalah dengan mencoba jalur prestasi, namun lagi-lagi harapannya kandas lantaran pihak sekolah menyebut, jika jalur prestasi hanya diperuntukkan bagi siswa asal luar Kota Tangsel.
"Kita coba pakai jalur prestasi, tapi jawabannya begitu, katanya jalur prestasi hanya untuk anak-anak di luar Tangsel. Saya cuma sayang aja, prestasi dia bagus, nilainya terakhir UN itu rata-rata 9, rumah juga dekat dari sekolah, tapi kenapa nggak bisa lolos," ucapnya.
Hingga kini, pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Provinsi Banten maupun Kepala Kantor Cabang Daerah (KCD) belum dapat dimintai keterangan perihal hasil PPDB tingkat SMA-SMK. Tak adanya publikasi tentang itu, diduga kuat disebabkan adanya permainan dari oknum tertentu untuk jual-beli bangku sekolah.
Salah seorang pengamat kebijakan publik Eddy Sapros menilai jika hasil PPDB baik secara online dan offline tidak di publish patut diduga ada permainan, antara pihak-pihak terkait.
“Patut diduga ada kongkalingkong, ada permainan, pengumuman online belum tentu bisa dilihat lagi perhari ini, terus bagaiman yang offline nya, seperti adanya penambahan rombongan belajar dan lain-lain,” kata Edi Sapros, pengamat Kebijakan Publik dikonfirmasi terpisah.
"Persentasi kuotanya kan jelas, tinggal dicek dimasing-masing sekolah, berapa siswanya yang masuk, berapa kelas yang yang ada. Saya pikir itu mudah sekali untuk ditelusuri, mengenai penyelenggaraan PPDB yang adil," sambung Eddy.
Sementara itu, Inspektur Pembantu Wilayah IV pada Inspektorat Provinsi Banten, Kukuh Sumarso, mengatakan, pihaknya berhak mengaudit jika ada laporan dari orang tua murid yang merasa janggal dengan sistem zonasi yang diberlakukan.
“Kalau ada laporan ya kita tindak lanjuti, tapi kalau tidak ada laporan tertulis kita tidak bisa turun. Patokannya dihasil pengumuman itu, kan sudah ketahuan jaraknya. kita bisa melihat di google Maps itu ada yang diukur dengan kendaraan roda empat, ada yang diukur kendaraan roda dua, ada jalan setapak, ada titik koordinat. Sebetulnya yang disepakati itu titik koordinat rumah karena itu merupakan jarak yang paling dekat diantara 3 metode yang lain,” paparnya.