Murid SMK Putra Nusantara 4 tengah melakukan kegiatan belajar mengajar meski di tengah keterbatasan (Foto: Demon/Okezone)Mengenyam bangku sekolah merupakan impian setiap orang, guna mendapatkan ilmu pengetahuan. Termasuk, masyarakat di Kabupaten Bengkulu Provinsi Bengkulu. Kecamatan Merigi Kelindang, tepatnya. Warga desa Kelindang Atas, persisnya. Di desa yang di huni 536 jiwa ini hanya memiliki satu sekolah setingkat SMA. SMK Putra Nusantara 4, namanya.
Bangunan sekolah yang berukuran 7x9 meter ini, memprihatinkan. Bagaimana tidak, seluruh bangunan sekolah yang berdiri atas lahan sekira 0,8 hektare (Ha) atau setara dengan 100x80 meter tersebut mirip 'kandang hewan' atau gubuk reot, tidak layak. Kondisi tersebut ditandai dengan bagian dinding, lantai, atap serta meubeler yang digunakan jauh dari layak.
Hari itu, Senin 19 November 2018. Satu hari setelah perayaan HUT ke-50 Provinsi Bengkulu, tepatnya. Cuaca, pagi itu di Bengkulu Tengah, cerah berawan. Gumpalan awan putih mirip kapas menggelayut di daerah ini. Termasuk di desa Kelindang Atas Kecamatan Merigi Kelindang.
Di bagian ujung desa, berdiri satu unit bangunan sekolah setingkat SMA. SMK Putra Nusantara 4, namanya. Sekira 30 meter dari tepi jalan desa. Dari kejauhan tampak bangunan yang tak layak untuk dijadikan tempat menuntut ilmu, miris. Berdiri di atas tanah kuning.
Becek dan berlumpur ketika di landa hujan, berdebu ketika cuaca panas. Puluhan siswa/i tengah menerima mata pelajaran dari guru sukarela, secara serius. Raut muka pelajar pun fokus menghadap ke depan, papan tulis. Mendengarkan penjelasan dari guru sukarela yang sedang mengajar.
Sekolah itu dibangun secara bersama oleh pemuda setempat melalui sebuah yayasan dan masyarakat sekitar, seadanya. Bangunan sekolah di atas lahan bekas kebun karet itu di bangun secara darurat. Bahan seadanya. Di mana sebagian dinding hanya berbalut triplek yang sudah rapuh. Tiang penyanggah pun hanya dari balok kayu yang sudah termakan usia.
Begitu juga dengan kayu reng bagian atap. Bahkan, lantai ruang belajar, kantor masih dalam kondisi tanah kuning. Lebih menyedihkan lagi, meubler yang ada di buat secara swadaya, berbahan baku triplek. Meja belajar siswa/i misalnya. Termasuk meja guru sukarela. Jauh dari sempurna.
Sekolah yang sudah menampung 34 siswa/i ini juga hanya memiliki 50 buku bacaan. Di mana puluhan buku bacaan itu bersumber dari barang bekas yang disumbangkan ke sekolah yang berdiri sejak Senin 1 Februari 2016 atau 2 tahun 9 bulan. Meskipun demikian, guru sukarela dan siswa/i tetap semangat menimba ilmu dan memberikan ilmu pengetahuan.
''Jumlah siswa kami sekarang 34 orang. Kelas X sebanyak 20 orang dan kelas XI sebanyak 14 orang,'' kata Kepala Sekolah (Kepsek) SMK Putra Nusantara 4 Bengkulu Tengah, Mardiana, kepada okezone, Senin 19 November 2018.
Sekolah Gratis, Guru Dibayar Ucapan Terima Kasih
Sekolah yang memiliki dua ruang belajar dan satu kantor itu sama sekali tidak di pungut biaya alias gratis. Sehingga 14 guru sukarela, staf tata usaha (TU) dan dosen agri bisnis tanaman pangan dan holtikultura itu hanya di bayar dengan ucapan terima kasih.
Meskipun demikian, 14 guru sukarela tersebut tetap semangat memberikan mata pelajaran berdasarkan K13 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Hal tersebut ditandai dengan setiap guru sukarela memberikan satu hingga dua mata pelajaran. Di mana siswa/i mulai masuk sejak pukul 07.31 WIB hingga pukul 14.16 WIB.
Puluhan siswa/i pun tetap bersemangat menerima mata pelajaran yang diberikan setiap hari, layaknya sekolah SMA lainnya. Namun, dalam pemberian mapel guru sukarela hanya mengandalkan buku seadaanya. Tetap mengacu pada K13. Baik itu mata pelajaran Agama, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris serta mata pelajaran lainnya.
Guru sukarela yang menyempatkan diri mengajar di sekolah tersebut merupakan pemuda/i dari Kecamatan Merigi Kelindang dan Kecamatan Merigi Sakti. Begitu juga siswa/i yang bersekolah di sekolah yang memiliki program jurusan Agri Bisnis Tanaman Pangan dan Holtikultura.
"Mata pelajaran yang kami berikan masih mengacu pada K13 (kurikulum 2013)," sampai Mardiana.
Mardiana mengatakan, sejak berdirinya sekolah guru sukarela sama sekali tidak ada mendapatkan bayaran dari siswa. Kondisi tersebut, lantaran mata pencarian seluruh siswa hanya petani dan berkebun. Sehingga mereka tidak sanggup untuk membiaya anak mereka sekolah.
"Kami sepeserpun tidak ada dibayar. Jangankan gorengan, air mineral gelas saja tidak ada kami terima dari siswa. Kami mengajar di sini secara sukarela," ujar Mardiana.
Salah satu siswi SMK, Endah Lestari (16) mengatakan, jika dirinya bersama teman-temannya mendapatkan mata pelajaran sesuai dengan K13. Namun, kata dia, di sekolah mereka tersebut masih banyak kekurangan. Mulai dari bangunan, buku pelajaran serta guru yang mengajar.
"Sekolah di sini sama sekali tidak membayar. Kami masih membutuhkan buku pelajaran dan buku bacaan," sampai siswa kelas XI, Endah, saat ditemui Okezone.
Hal senada disampaikan, Andika Saputra (18). Andika menyampaikan, sejak sekolah berdiri tidak ada siswa yang tamat SMP yang menjadi petani atau menikah. Sebab, mereka ingin mengubah nasib mereka untuk menjadi lebih baik. Selain itu, tambah Andika, dirinya bersama rekan-rekannya mendapatkan mata pelajaran sama seperti SMA.
"Mata pelajaran sama dengan sekolah-sekolah lainnya. Kami sekolah di sini tidak ada membayar, semuanya gratis. Dulu ada yang putus sekolah karena tidak ada biaya, sejak ada sekolah gratis maka mereka memiih untuk kembali sekolah," ujar siswa kelas XI, Andika.
Tamat SMP Siswa Pilih Menikah
Pembangunan SMK Putra Nusantara 4, tidak terlepas dari peran serta keluarga dan masyarakat setempat akan pentingnya pendidikan anak di satuan pendidikan. Sebab, sebelum berdirinya sekolah tersebut siswa desa setempat dan sekitarnya usai tamat dari jenjang SMP menjadi putus sekolah. Bahkan memilih menjadi petani dan pekebun.
Bahkan, pada tahun 2015 atau setahun sebelum berdirinya sekolah tersebut siswa yang tamat dari SMP memilih untuk menikah atau pernikahan dini. Kondisi itu tidak terlepas dari mata pencarian orangtua mereka yang serba keterbatasan. Sehingga memilih untuk menikahkan anak mereka pada usai dini.
Kondisi tersebut berubah setelah adanya inisiatif dari pemuda desa setempat pada tahun 2016. Senin, 1 Februari 2016, persisnya. Pemuda desa itu menginisiasi untuk mendirikan dan membangun sekolah setara SMA. Hal tersebut berangkat dari pelajar SMP yang tamat tidak kembali melanjutkan ke jenjang SMA dan memilih menikah dan menjadi petani dan pekebun.
Sebelum bangunan sekolah darurat berdiri, siswa kelas X menumpang di salah satu ruangan rumah pribadi, Kepala Desa (kades) Kelindang Atas Kecamatan Merigi Kelindang Kabupaten Bengkulu Tengah, M Jalalludin (58). Lamanya, sekira 3 hingga 5 bulan, kira-kira. Seluruh siswa tersebut belajar dengan meubler secukup dan seadanya, kala itu.
Berselang beberapa bulan kemudian, tujuh pemuda yang menginisiasi pembangunan sekolah tersebut mendapatkan bantuan dari salah satu yayasan untuk mendirikan bangunan sekolah yang hingga saat ini berdiri. Di mana bahan baku bangunan sekolah pun berasal dari sumbangsi dan peran serta masyarakat sekitar dan yayasan.
"Sebelum ada SMK banyak siswa/i yang sudah tamat SMP, putus sekolah. Ada juga yang memilih menikah. Karena itulah kami secara bersama mendirikan sekolah di sini secara bersama," jelas Mardiana.
Siswa yang tidak melanjutkan, sampai Mardiana, terbentur dengan biaya. Sebab sekolah setara SMA dari desa-nya tersebut berjarak sekira 18 kilometer (km). Sehingga siswa yang telah tamat SMP memilih untuk tidak melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi.
"Jika ada biaya siswa/i yang tamat SMP sekolah ke luar desa. Ada juga yang ke Kota Bengkulu. Kebanyakan siswa tidak melanjutkan sekolah atau putus sekolah. Jika sekolah ke luar maka biaya yang dikeluarkan cukup besar, makanya mereka memilih menjadi petani atau pekebun dan menikah," sampai Mardiana.
Ditambahkan, Kepala Desa Kelindang Atas Kecamatan Merigi Kelindang Kabupaten Bengkulu Tengah, M Jalalludin (58), jika sekolah tersebut masih membutuhkan perhatian. Sebab, sejak berdirinya bangunan sekolah tersebut sama sekali belum adanya perhatian. Pembangunan sekolah tersebut pun berawal dari jarak tempuh sekolah setara SMA yang jauh dari desa. Sehingga siswa yang usai tamat SMP tidak melanjutkan sekolah kembali ke jenjang SMA.
Sebelum sekolah berdiri siswa, jelas Jalalludin, sempat menumpang di rumah pribadinya. Kondisi itu lantaran bangunan sekolah sama sekali tidak ada. Lamanya, tidak kurang dari lima bulan. Hal tersebut salah satu bentuk perhatian terhadap satuan pendidikan untuk anak warga di desa yang ia pimpin tersebut.
"Sempat menumpang di ruang atas rumah saya. Sebelum berdirinya sekolah anak yang baru tamat SMP memilih menikah. Tapi, sejak ada SMK mereka tidak ada lagi yang menikah dan memilih melanjutkan sekolah. Sekolah di sana (SMK) itu gratis," kata Jalalludin, ketika ditemui Okezone, Senin 19 November 2018.
Jalalludin berharap, adanya perhatian dari pemerintah daerah untuk melengkapi kekurangan-kekurangan di sekolah tersebut. Sebab, kondisi sekolah tersebut masih jauh dari sempurna. Mulai dari kondisi bangunan sekolah, meubeler hingga guru yang mengajar di sekolah tersebut.
"Kami berharap sekolah itu ada perhatian dari pemerintah," harap Jalalludin.
Sementara itu, Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Bengkulu, Septi Yuslina mengatakan, dari pihak yayasan dapat mengusulkan bantuan kepada pemerintah daerah ataupun pusat. Di mana nantinya, sekolah tersebut akan mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat atau daerah berupa bantuan keuangan atau hibah. Bahkan, hibah dalam bentuk barang melalui dinas pendidikan.
"Dari DPRD bisa saja mengusulkan sesuai ajuan dari yayasan sekolah tersebut. Apakah hibah bantuan keuangan atau hibah barang melalui dinas pendidikan," sampai Septi.