Foto: Lamhot Aritonang
Dua minggu lalu, saya berkesempatan mengikuti Diklat Training of Facilitator Bela Negara Wakasek Kesiswaan dan Guru PKN Se-Jawa Barat di Bandung. Inti kegiatannya mengarahkan agar Wakasek Kesiswaan dan Guru PKN menjadi pelatih sekaligus kader siap bela negara di sekolah masing-masing.
Program kerja sama antara Menhan dan Mendikbud itu merupakan kelanjutan dari "tentara masuk sekolah". Kegiatan ini dilakukan guna menjawab maraknya penyebaran isu-isu radikalisme sampai luntur-pudarnya rasa nasionalisme yang menunjukkan perkembangan memprihatinkan belakangan ini.
Bahkan, diketahui alasan penyelenggaraan kegiatan ini adalah ulah para siswa yang semakin indisipliner. Makanya, Mendikbud meyakini dengan dimasukkannya jiwa koprs tentara ke sekolah, harapannya siswa menjadi lebih disiplin.
Tapi, disiplin militer itu kan komando "siap laksanakan!"? Apapun itu, kalau datang dari atasan, maka "siap laksanakan!" --apakah itu cocok diterapkan di sekolah? Disiplin sekolah memang harus, tapi menyamakannya dengan batalyon, itu urusan lain, beda cerita.
Ancaman Non Militer
Ancaman yang merongrong NKRI sejatinya tidak selalu bersifat militer, berupa perang yang meluluhlantakkan medan pertempuran. Bukan hanya itu. Malahan, yang juga tak kalah pentingnya adalah ancaman non militer. Pada konteks ini, misalnya keinginan untuk mengganti Pancasila dengan ideologi lain, atau munculnya ragam pemikiran yang bisa merusak antarsesama bangsa Indonesia.
Apalagi dengan didukung oleh perkembangan teknologi informasi. Ancaman demikianlah yang sekarang ini masif terjadi dan membahayakan. Menanggapi ancaman seserius itu, Mendikbud kemudian meminta dukungan kepada perwira militer? Maaf, tentara dan nasionalismenya adalah harga pasti, tidak ada keraguan apalagi penawaran. Tapi, pada konteks ancaman kekinian, nanti dulu.
Karakteristik militer bagaimanapun adalah garis komando yang ketat dan terpusat. Saya belum bisa membayangkan bagaimana karakter itu kemudian dekat dengan siswa ketika pembinaan karakter kebangsaan sedang digalakkan. Apakah para siswa mesti manut "siap laksanakan!" tanpa diberi kebebasan untuk bertanya, mengkritik, dan mengoreksi?
Padahal, sebagai lembaga pendidikan, sekolah tugas utamanya adalah melatih cara berpikir logis dan mengasah kritisisme sehingga siswa mampu memahami sebuah persoalan dengan menyeluruh dan mendasar. Bukankah buah dari nalar kritis mendasar itu adalah juga bibit yang kelak di kemudian hari dapat mengarahkan peserta didik menjadi pribadi yang sadar akan bangsanya sendiri, bermoral, dan berintegritas?
Poin dasar bela negara terletak pada keyakinan bahwa Pancasila sebagai ideologi adalah harga mati. Karenanya, yang dibutuhkan untuk anggapan itu adalah pribadi-pribadi terbuka, lentur, dan kreatif memahami masalah secara mendasar. Bukan malah kebalikannya. Ini nyata terjadi, hal yang sesungguhnya sangat disayangkan muncul ketika kegiatan diklat kala itu berlangsung.
Begini, ketika membahas soal ideologi Pancasila sebagai dasar negara, muncul wacana "bos-bos Cina". Dalam diskursus yang sedang berlangsung itu, forum seolah ramai akan tepuk tangan. Suara seakan menjadi satu, mengatakan secara bersamaan bahwa Pancasilais sejati adalah juga nasionalisasi aset-aset ekonomi terhadap ancaman yang berbau Cina. Pokoknya anti-China, demikianlah maksud dari diskursus kala itu.
Saya sebetulnya geram, konten sensitif yang dapat memancing SARA itu muncul. Dalam urusan niaga-dagang-ekonomi, persaingan adalah pasti. Ketika itu dipahami dalam konteks pembicaraan tentang ancaman terhadap Pancasila, ini yang ditakutkan memancing emosi SARA. Lagi pula, sebagai ideologi, Pancasila mengandung justru nilai langit yang mengawang jauh di sana. Persoalannya, bagaimana nilai "kelangitan" itu diejawantahkan dalam praktik kemanusiaan yang membumi.
Pada kasus ini, menempatkan ancaman pada proporsi yang adil dan beradab dalam persona kemanusiaan-universal juga salah satu alasan kita disebut Pancasilais. Artinya, jika bersama kita mengamini Pancasila sebagai ideologi, yang semestinya tidak hanya dalam ucap melainkan semenjak dalam pikiran, maka pada konteks di atas setidaknya tempatkan ancaman itu secara adil.
Menutup Mata
Sungguh disayangkan, program diklat bela negara yang konon mematok target 100 juta orang Indonesia menjadi kader itu akan rutin dilaksanakan. Ada dua poin yang sungguh sangat disayangkan. Pertama, menyoal anggaran. Pada praktiknya, kegiatan macam begini membutuhkan anggaran yang tidak sedikit, apalagi mematok target 100 juta orang. Entah konsumsi, transportasi, logistik, dan urusan administrasi.
Padahal, ketimbang menggunakan anggaran untuk memenuhi atribut formal-literal berupa "apa" itu nasionalisme, bela negara, Pancasila dan "apa-apa" lainnya itu, lebih baik meramaikan program kesekolahan dengan atribut "mengapa" dan "bagaimana" nasionalisme itu diterapkan.
Kedua, para pemangku kebijakan seolah menutup mata dari ancaman yang di awal kita sebut non militer tadi. Ironisnya, bukankah ancaman itu nyata dirasakan sedang melanda? Kecanggihan teknologi dengan adanya smartphone kenyataannya malah tidak membuat para user semakin pintar. Ya, apalagi kalau bukan kesenangannya menyebar hoaks, yang dapat merusak modal sosial rasa saling percaya. Bukankah bangsa ini bisa hidup sampai sekarang karena mempercayai Pancasila sebagai ideologi negara?
sumber: https://news.detik.com/kolom/d-4649742/sekolah-militer-dan-paradoks-bela-negara