Papua: 'Kami pulang bukan untuk kembali' dan pendidikan generasi muda Papua yang terancam

Mahasiswa Papua

Lebih dari 2.000 mahasiswa Papua telah pulang ke daerah asal sejak peristiwa di depan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Agustus lalu. Sebagian dari mereka mengaku tidak berniat kembali ke kota studi masing-masing.
Hal itu setidaknya diungkapkan Micha Dawi, mahasiswa jurusan arsitektur yang berkuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta Selatan.
"Kami pulang bukan lagi untuk kembali, tapi kami pulang untuk menuntut hak politik kami, artinya referendum," ungkap Micha kepada BBC News Indonesia melalui sambungan telepon, Rabu (25/09).
Micha mengaku mencoba bertahan di Jakarta, sebelum akhirnya memutuskan kembali ke Jayapura hari Sabtu, 21 September lalu. Ia merasa tidak aman berada di ibu kota.
"Ada rasa ketidaknyamanan, teror, intimidasi, bahkan semua aktivitas kami terpantau. Sebagai manusia kan rasanya gimanaNggak enak, kan?" ujarnya.
Soal klaim mahasiswa Papua yang mengatakan tidak aman berada di ibu kota, Polri menyatakan bahwa kepolisian menjamin keamanan bagi masyarakat Papua yang tengah menimba ilmu di mana pun berada. Jika ada yang merasa tidak aman, mereka bisa melaporkan hal tersebut.
"Kalau dia merasa diintimidasi, siapa yang intimidasi, dia bisa lapor," ujar Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo, melalui sambungan telepon (25/09).
"Sarana untuk melaporkan banyak, bisa di polisi, bisa di Komnas HAM, bisa di Kompolnas, bisa di berbagai lembaga lainnya."
Mahasiswa PapuaHak atas fotoDONAL HUSNI/NURPHOTO VIA GETTY IMAGES
Image captionRatusan mahasiswa asal Papua berunjuk rasa di depan Istana Kepresidenan Jakarta pada 22 Agustus 2019 lalu, menyusul aksi rasialis yang menimpa rekan mereka di Surabaya beberapa hari sebelumnya
Pada pertemuan antara Gubernur Papua dan para bupati di Jayapura, Papua, Senin (16/09), dilaporkan jumlah mahasiswa yang telah kembali mencapai 2.047 orang. Jumlah ini diperkirakan terus bertambah.
Kapolda Papua, Irjen Rudolf A Rodja, menjelaskan bahwa pendataan yang dilakukan Polda Papua terkait kepulangan para mahasiswa tersebut berasal dari data manifes pesawat yang tiba di Bandara Sentani.
Ia menyatakan Polda Papua tidak bisa melakukan pendataan untuk mahasiswa yang kembali menggunakan kapal.

'Beban saya pribadi'

Menurut Micha Dawi, banyak di antara teman sedaerahnya yang juga memutuskan untuk kembali ke Papua setelah peristiwa di asrama mahasiswa Papua di Surabaya pertengahan Agustus lalu.
"Teman-teman hampir 90% memilih untuk pulang," ujarnya, "Itu keputusan secara pribadi, nggak secara kolektif bersama-sama."
Terlebih, Majelis Rakyat Papua (MRP) dan gubernur Papua sebelumnya mengimbau mereka untuk 'pulang kampung' apabila kondisi di kota studi masing-masing dirasa tidak aman.
Saat ditanya tentang nasib studinya yang sudah menginjak semester tujuh, Micha mengatakan belum memikirkan kelanjutannya. Pasalnya, ia tidak berencana kembali ke Jakarta.
"Itu memang jadi beban saya pribadi, tanggung jawab saya," katanya, "Tapi kan masih ada kesempatan lah untuk kami lanjut lagi kuliah."
Sejak tiba di Jayapura empat hari lalu, Micha disibukkan dengan pembuatan posko pendataan mahasiswa Papua yang kembali ke sana. "Untuk kemudian menjadi bahan pertanggungjawaban ke pemerintah dan LSM-LSM," katanya.
Mahasiswa papuaHak atas fotoANTARA FOTO/HENDRA NURDIYANSYAH/PD
Image captionSejumlah mahasiswa asal Papua melakukan unjukrasa di Jalan Kusumanegara, DI Yogyakarta, Selasa (20/8/2019). Aksi tersebut merupakan aksi solidaritas dan bentuk protes terhadap kekerasan serta diskriminasi rasial terhadap warga Papua yang terjadi di Surabaya dan Semarang.
Saat Micha merasa tidak aman dan enggan kembali ke Jakarta, mahasiswi asal Waena, Jayapura, Mesabia Pramudhita Modouw, memilih untuk tidak kembali ke Papua. Ia merasa situasi di sekitar kampusnya di Yogyakarta masih kondusif.
"Kalau lingkungan UGM sendiri kebetulan kondusif ya. Nggak ada sama sekali hal-hal yang provokatif atau apapun," ujarnya.
Gadis keturunan Papua-Jawa itu beraktivitas seperti biasanya karena menganggap tidak ada hal yang mendorongnya untuk pulang.
"Kebetulan tidak ada hal-hal yang membuat saya merasa tidak nyaman ataupun yang diberlakukan oleh pihak kampus, (sikap) teman-teman seangkatan saya di (jurusan) Arsitektur untuk mendesak saya pulang," jelasnya.

Mahasiswa pindahan terpaksa ditolak

Senin (23/09) lalu, Gubernur Papua Lukas Enembe meminta mahasiswa yang pulang ke Papua untuk kembali ke kota studi masing-masing. Hal itu ia katakan secara tegas, menyusul gagalnya upaya komunikasi yang ia akui telah coba dibangun dengan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP).
"Kalau you mau sekolah, kembali ke tempat studi kalau daerah itu dianggap aman," ujar Lukas di Jayapura, seperti dikutip Kompas.com.
Mahasiswa PapuaHak atas fotoANTARA FOTO/MOCH ASIM/AMA
Image captionPertemuan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa (kedua dari kanan) dan Gubernur Papua Lukas Enembe (ketiga dari kanan) pada Selasa (27/8/2019) untuk membahas persoalan mahasiswa asal Papua dan untuk meredam perselisihan.
Hingga Rabu (25/09), Universitas Papua di Manokwari, Papua Barat belum menerima satu pun pendaftaran dari mahasiswa yang berencana pindah kuliah ke tanah Papua.
"Belum ada," ungkap Wakil Rektor Universitas Papua, Derek Erari, singkat.
Sementara itu, Universitas Cenderawasih (Uncen) di Jayapura sudah menerima 10 pendaftar mahasiswa pindahan. Kebanyakan berasal dari kampus-kampus di pulau Jawa, seperti di Jakarta dan Purwokerto.
Akan tetapi, pihak Uncen mengaku tidak mampu menampung mahasiswa Papua yang kembali ke kampung halaman mereka. Pasalnya, kapasitas mahasiswa di kampus tersebut sudah mencapai batas maksimum.
"Daya tampung kita terbatas, sehingga kita tidak bisa menerima. Belum bisa menerima," ungkap Pembantu Rektor 1 Uncen, Onesimus Sahuleka, lewat sambungan telepon.
Pada tahun ajaran baru ini, universitas negeri tersebut sudah melipatgandakan kuota mahasiswa, dari 3.000 menjadi 6.000, dan mengaku tak mampu lagi menambah jumlah mahasiswa.
"Ruangan kita terbatas, sumber daya manusia kita juga terbatas."
Mahasiswa PapuaHak atas fotoBBC INDONESIA/ ANINDITA PRADANA
Image captionMahasiswa Papua di Jakarta bercerita bahwa mereka bersekolah di Jakarta untuk membangun Papua di masa depan
Terlebih, menurut Ones, tahun ajaran sudah berjalan, kurikulum lokal pun berbeda. Selain itu, beberapa pendaftar tidak memenuhi persyaratan: berasal dari perguruan tinggi swasta atau sudah menempuh pendidikan lebih lama dari periode yang dipersyaratkan untuk bisa pindah universitas.
Akibatnya, ke-10 pendaftar itu ditolak. Ones menyarankan kepada para mahasiswa untuk menyelesaikan pendidikan di kampus asal mereka.
"(Kepada) universitas-universitas asal itu, kami mohon juga supaya bisa memberikan konfirmasi yang baik buat anak-anak kita, jangan hanya melepas saja," imbuhnya.
"Tapi bisa mengatakan pada mereka, 'Ini situasi sudah seperti ini, kalau adik-adik tahan di sini, bisa selesai tepat waktu'."

Masa depan generasi muda Papua dan Papua Barat terancam

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang mengkaji isu Papua, Adriana Elisabeth, mengaku khawatir dengan masa depan generasi muda Papua dan Papua Barat, apabila mahasiswa yang kembali ke Papua berakhir tidak menyelesaikan pendidikan mereka.
"Sayang kalau masa-masa mereka harus menimba ilmu, dan tinggal selangkah lagi mereka menjadi sarjana, kemudian mereka lewatkan begitu," ungkap Adriana.
"Kalau mereka putus sekolah itu kan masa depannya tidak akan sebaik yang mereka coba persiapkan selama ini."
Lebih dari itu, menurut Adriana, secara umum hanya sedikit lulusan SMA di Papua dan Papua Barat yang berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.
"Karena pendidikan itu kan menjadi salah satu jalan untuk SDM (sumber daya manusia) itu meningkatkan diri, dan bagi Papua, ini menjadi prioritas sebetulnya.
"Justru karena jumlah mereka sedikit, mereka harus lebih punya pendidikan yang tinggi untuk bisa mempunyai masa depan yang lebih baik, punya daya saing," jelasnya.
Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia
Untuk itu, Adriana meminta pemerintah bisa menjamin kondusifitas para mahasiswa Papua yang menuntut ilmu di luar tanah Papua. Imbauan belaka dianggap tidak cukup.
"Pihak keamanan juga harus memahami bahwa bukan berarti semua anak Papua itu berpikir sesuatu yang sama, misalnya, tidak semua (pergi) sekolah untuk kemudian berpikir politik, kemudian (menuntut) merdeka, dan sebagainya.
"Kesempatan itu harus tetap diberikan dengan jaminan keamanan," ungkap Adriana.
Selain itu, ia juga meminta Pemerintah Daerah (Pemda) Papua dan Papua Barat menjalin kerja sama dengan pemda-pemda di tempat para mahasiswa belajar untuk menjamin mereka bisa kembali melanjutkan pendidikan.
"Karena tanpa jaminan itu juga sulit bagi mereka untuk bisa kembali, dan juga orang tua mereka pasti khawatir, karena sebagian kan mereka ada juga yang disweeping dan sebagainya," pungkas Adriana.

Share:

Recent Posts